Aku baru saja turun dari
angkutan kota yang sedang ku tumpangi. Setelah membayar ongkos sesuai tarif,
aku langsung berjalan kaki menuju sekolah baruku yang membutuhkun waktu sekitar
lima menit untuk benar-benar sampai disana. Aku sudah dekat, sudah terlihat
jelas gerbang sekolahku. Kubaca tulisan yang cukup besar terpampang tepat di
pintu masuk. SMA NEGERI 1. Salah satu sekolah menengah atas yang cukup favorit
di kota ku. Aku tersenyum bangga melihat sekolah yang ketika SMP dulu hanya
sering ku lewati saja.
Umurku baru limabelas
tahun, satu tahun lebih muda dari umur anak SMA seharusnya. Itu karena Ibuku
yang mendaftarkanku sekolah satu tahun lebih cepat. Tepat langkah pertama aku
memasuki sekolahku terdengar adzan zuhur dari kejauhan. Karena kelas di
sekolahku tidak sebanding dengan murid yang ada, jadi murid baru terpaksa
sekolah siang. Aku melihat sepertinya baru aku sendirian yang datang. Karena
memang sebenarnya bel masuk berbunyi tepat pukul 12.45, hanya saja aku takut
terlambat karena rumahku lumayan jauh dari sini.
Aku segera mencari
mushola untuk menunaikan ibadah shalat zuhur sembari menunggu teman-temanku
datang. Kulihat di dalam mushola itu ada seorang pria yang sedang shalat juga,
ia sendirian. Aku berfikir mungkin ia juga murid kelas sepuluh sama sepertiku.
Aku membuka sepatu dan masuk ke belakang untuk mengambil wudhu.
Ketika aku selesai
mengambil wudhu dan ingin masuk ke mushola, pria yang tadi kulihat sedang
shalat menuju kearah tempat pengambilan wudhu. Tiba-tiba jantungku bergerak
cepat ketika berpapasan dengan pria ini. Kulihat ternyata ia menuju cermin
besar yang ada disini, mungkin ia ingin merapikan pakaiannya.
Enam menit kemudian aku
selesai shalat dan mengembalikan mukenah yang ku pinjam dari mushola ketempat
asal aku mengambilnya. Kulihat pria tadi masih duduk diluar sembari melihat
pemandangan kakak kelas yang berhamburan keluar kelas karena bel pulang sudah
di bunyikan. Pria itu tersenyum padaku dan sontak aku terlihat kaku melihat
senyumannya.
“Syafira…Syafira!” terengar seperti
ada yang meneriakkan namaku.
“Eh Delia, kamu yang manggil aku
ya?” tanyaku pada delia. Delia adalah teman dekatku sejak duduk di bangku smp.
“iyalah aku yang manggil emang
siapa lagi? Oh iya..kamu abis shalat ya?udah dari jam berapa disini?” Delia
bertanya dengan wajah seperti tidak percaya melihatku keluar dari mushola.
“kamu kenapa mukanya gitu? Iya aku
abis shalat tadi gausah heran gitulah kayak aku ini abis ngapain aja. Aku dari
jam dua belas disini. Kamu lama banget sih dateng, rumah deket juga”
“Bagi siswa-siswi kelas sepuluh
diharapkan berkumpul di aula untuk mengetahui kelas kalian masing-masing”
Terdengar panggilan dari sumber suara yang ada di sekolah.
Aku dan Delia pun
bergegas naik ke lantai dua sekolah dan masuk ke aula. Sangat ramai dan sesak
di dalam sini. Semua murid sangat antusias dan semua anak berharap satu kelas
dengan teman-teman yang sudah lama mereka kenal. Begitu juga dengan aku dan
Delia yang sangat berharap kami tidak di pisahkan di kelas yang berbeda.
“Kelas sepuluh dua : Ria
Fitriani, Andjani Putri Aulia, Adi Pranata Putra, Delia Saputri, Syafira
Ananda…blablabala”. Mendengar suara itu Delia langsung memelukku dengan girang.
Begitu juga dengan aku yang membalas pelukannya. Kami sangat senang karena kami
di pertemukan lagi dalam satu kelas seperti dua tahun lalu.
Selesai pengumuman
pembagian kelas semua murid langsung bergegas keluar dan mencari kelas mereka
untuk segera mendapatkan posisi tempat duduk yang di inginkan. Aku dan Delia
berlari ke kelas sepuluh dua, untung saja hanya beberapa bangku yang baru di
tempati siswa lain. Aku dan Delia langsung memilih posisi yang kami inginkan.
Barisan ketiga dari pintu masuk, urutan ketiga dari depan. Bagi kami ini tempat
yang pas karena tidak terlalu jauh dari papan tulis dan juga tidak terlalu
dekat.
Kami langsung duduk dan
memulai bercerita seperti biasanya. Satu persatu para siswa memasuki kelas ini,
lama kelamaan kelas mulai ramai di penuhi siswa yang nantinya akan jadi
keluarga kami dikelas. Dalam keramaian kelas ini mataku sperti sedang tertuju
pada pria yang sedang berdiri di depan pintu seolah kebingungan melihat seperti
tidak ada lagi bangku kosong untuknya. Ia berjalan dan menuju ke arahku. Aku
benar-benar gemetar, aku bingung kenapa dia ke arahku, “huh akhirnya masih ada
yang kosong” bisiknya kecil.
Ternyata di bukan menuju
ke arahku, dia menuju ke arah kursi yang masih kosong di barisan sebelahku. Aku
malu wajahku benar-benar terlihat merah. Aku berharap ia menyapaku, tapi pria
ini terlihat seperti pendiam. Aku benar-benar tidak menyangka dia sekelas
denganku bahkan sekarang duduk disebelahku.
“hey kamu duduk sendirian?”
(Lidahku keluh mendengar pertanyaan
itu, suara itu. Pria yang ku kagumi menyapaku?benarkah? rasanya seperti tidak
percaya)
“ehh..enggak kok aku duduk sama
temenku namanya Delia, tapi tadi dia lagi ke toilet. Kamu sama siapa?”
“gatau nih ini ada tasnya tapi
gatau yang mana orangnya. Oh iya kamu yang di mushola tadi kan?nama kamu siapa?
(Ternyata dia memperhatikanku juga
di moshola tadi. Di menanyakan namaku sekarang. Dia ingin tau namaku. Aku
senang benar-benar masih kaku berada di dekatnya).
“iya kita tadi ketemu di
mushola…Nih namaku (menunjuk ke arah nama yang tertera di baju seragam) Syafira
Ananda namaku”.
“ohh salam kenal ya Fir namaku Adi
Pranata, panggil Adi aja atau Didi”.
“iyaa okee Didi aja kali ya biar
akrab”
(ia hanya membalasnya dengan
senyum)
Hari-hari sekolah sudah
mulai normal, belajar seperti biasa, pekerjaan rumah pun tak henti menghampiri.
Tiba pelajaran Bahasa Indonesia yang kebetulan gurunya adalah wali kelas di
kelas sepuluh dua yang juga merupakan kelasku dan Delia. Ibu Rumi menyuruh kami
berpindah pasangan duduk. Ia menyuruh kami duduk berpasangan yakni pria duduk
bersama wanita agar lebih terlihat kekeluargaan katanya.
Delia pindah di depan
lalu Adi pindah ke tempat duduk Delia. Fikiranku melayang tak tentu arah. Aku
tidak pernah berharap sejauh ini. Aku duduk di sebelah Didi dan kami pastinya
akan lebih dekat lebih sering bercerita banyak hal. Aku lebih dari bahagia
detik itu. Delia hanya tersenyum seperti sedang mengejekku ketika nama Didi di
panggil oleh Bu Rumi. Delia adalah satu-satunya orang yang tau perasaan kagumku
pada Didi. Aku makin malu melihat senyum ejekan Delia.
Delia tidak kedapatan
duduk dengan pria karena memang pria di kelas kami jumlahnya lebih sedikit dari
wanitanya.Delia tetap dekat denganku karena ia duduk di depan Didi atau yang
lebih di kenal dengan adi. Dan yang duduk bersama Delia adalah Rani. Dia juga
salah satu teman smp kami,namun kami tidak terlalu mengenalnya.
Hari-hari terus
berlalu…Sepertinya perasaan kagum pada Didi telah berubah jadi perasaan suka
dan cinta. Aku menyukai caranya bicara, senyumnya,kesopanannya dan ibadahnya
yang terlihat tidak pernah putus. Tapi aku belum berani menceritakan ini pada
siapapun apalagi pada Delia, karena aku takut perasaan ini salah atau akan
bertepuk sebelah tangan.
Siang itu aku baru saja
selesai shalat Ashar dan langsung menuju kelas. Kulihat Delia,Rani dan DIdi
sedang asik ngobrol. Bahkan kedatanganku pun tidak mereka peulikan. Aku
langsung duduk dan sesekali mendengar pembicaraan mereka. Tiba-tiba mataku
tertuju pada Rani. Rani menatap Didi begitu dalam. Ada yang berbeda dengan
tatapan itu, caranya bicara pada Didi juga berbeda. Perasaanku hancur. Aku
merasa Rani juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Rani juga pasti
menginginkan Didi. Aku kaku aku tidak tau apa yang harus kulakukan kala itu.
Keesokan harinya Aku
Delia dan Rani pergi suatu mall yang cukup beken di kota kami. Kami hanya ingin
melepaskan penat selama beberapa bulan merasakan pelajaran SMA yang ternyata
tidak se asik yang di bayangkan. Rani mulai membuka
cerita tentang masa-masa selama kami baru menuduki bangku SMA. Bercerita tentang
MOS kemarin, dan tentang Didi. Yaaa….Aku sudah tau ini juga akan jadi bahan
ceritanya sore itu. Rani sepertinya
benar-benar menyuikai Didi. Ia pun meminta kami untuk membantunya agar bisa
lebih dekat engan Didi. Lalu apa yang harus kulakukan? Benarkah aku harus
membantunya sedangkan aku sendiri juga menyukai Didi. Akankah aku bisa bertahan
dengan kedekatan mereka?
Tidak ada pilihan lain.
Aku harus membantu temanku. Aku tiak bisa mementingkan keegoisanku sendiri. Aku
tidak bisa menghalangi kebahagiaan temanku sendiri. Beberapa bulan kemudia
akhirnya Didi an Rani berpacaran. Mereka sangat terlihat bahagia. Aku juga
senang dengan hubungan mereka, meski ada yang luka di dalam jiwaku, dihatiku.
Tapi aku juga tidak
mungkin menangis diatas kebahagiaan mereka. Aku mencoba terus tersenyum,
melupakan semua rasa sakit, semua kekecewaan, kebencian dan amarah. Tidak ada
yang tau aku sangat rapuh saat itu. Aku benci keadaan seperti ini. Keadaan
dimana aku terpaksa harus berpura-pura menyembunyikan semuanya. Semua yang
seharusnya bisa tidak aku sembunyikan. Ini mungkin pelajaran berharga tapi aku
tetap saja keberatan dengan ini.
Aku berharap agar
hubungan mereka tidak lama. Terdengar jahat memang, tapi entahlah. Tidak ada
yang bisa ku fikirkan saat itu. Aku kosong, hancur berkeping-keping. Harapanku
hilang kosong. Aku terluka karena teman dekatku, karena seseorang yang sudah ku
anggap sahabat.
Mungkin ini pengalaman
berharga. Pertama kali aku jatuh cinta, dan pertama kali pula aku di kecewakan.
Aku mungkin tidak seharusnya menginginkan akhir hubungan mereka, karena berakhirnya
mereka belum tentu juga jadi awal yang baik untukku. Mengikhlaskan saja mungkin
itu lebih baik, lebih dewasa. Semoga saja Rani bisa mencintai Didi lebih besar
dari perasaan cintaku pada Didi. Semoga mereka tidak pernah merasakan sakitnya
jadi aku. Aku ikhlas J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar