Selasa, 03 Desember 2013

Cinta dan Luka Pertama

Aku baru saja turun dari angkutan kota yang sedang ku tumpangi. Setelah membayar ongkos sesuai tarif, aku langsung berjalan kaki menuju sekolah baruku yang membutuhkun waktu sekitar lima menit untuk benar-benar sampai disana. Aku sudah dekat, sudah terlihat jelas gerbang sekolahku. Kubaca tulisan yang cukup besar terpampang tepat di pintu masuk. SMA NEGERI 1. Salah satu sekolah menengah atas yang cukup favorit di kota ku. Aku tersenyum bangga melihat sekolah yang ketika SMP dulu hanya sering ku lewati saja.
Umurku baru limabelas tahun, satu tahun lebih muda dari umur anak SMA seharusnya. Itu karena Ibuku yang mendaftarkanku sekolah satu tahun lebih cepat. Tepat langkah pertama aku memasuki sekolahku terdengar adzan zuhur dari kejauhan. Karena kelas di sekolahku tidak sebanding dengan murid yang ada, jadi murid baru terpaksa sekolah siang. Aku melihat sepertinya baru aku sendirian yang datang. Karena memang sebenarnya bel masuk berbunyi tepat pukul 12.45, hanya saja aku takut terlambat karena rumahku lumayan jauh dari sini.
Aku segera mencari mushola untuk menunaikan ibadah shalat zuhur sembari menunggu teman-temanku datang. Kulihat di dalam mushola itu ada seorang pria yang sedang shalat juga, ia sendirian. Aku berfikir mungkin ia juga murid kelas sepuluh sama sepertiku. Aku membuka sepatu dan masuk ke belakang untuk mengambil wudhu.
Ketika aku selesai mengambil wudhu dan ingin masuk ke mushola, pria yang tadi kulihat sedang shalat menuju kearah tempat pengambilan wudhu. Tiba-tiba jantungku bergerak cepat ketika berpapasan dengan pria ini. Kulihat ternyata ia menuju cermin besar yang ada disini, mungkin ia ingin merapikan pakaiannya.
Enam menit kemudian aku selesai shalat dan mengembalikan mukenah yang ku pinjam dari mushola ketempat asal aku mengambilnya. Kulihat pria tadi masih duduk diluar sembari melihat pemandangan kakak kelas yang berhamburan keluar kelas karena bel pulang sudah di bunyikan. Pria itu tersenyum padaku dan sontak aku terlihat kaku melihat senyumannya.
“Syafira…Syafira!” terengar seperti ada yang meneriakkan namaku.
“Eh Delia, kamu yang manggil aku ya?” tanyaku pada delia. Delia adalah teman dekatku sejak duduk di bangku smp.
“iyalah aku yang manggil emang siapa lagi? Oh iya..kamu abis shalat ya?udah dari jam berapa disini?” Delia bertanya dengan wajah seperti tidak percaya melihatku keluar dari mushola.
“kamu kenapa mukanya gitu? Iya aku abis shalat tadi gausah heran gitulah kayak aku ini abis ngapain aja. Aku dari jam dua belas disini. Kamu lama banget sih dateng, rumah deket juga”
“Bagi siswa-siswi kelas sepuluh diharapkan berkumpul di aula untuk mengetahui kelas kalian masing-masing” Terdengar panggilan dari sumber suara yang ada di sekolah.
Aku dan Delia pun bergegas naik ke lantai dua sekolah dan masuk ke aula. Sangat ramai dan sesak di dalam sini. Semua murid sangat antusias dan semua anak berharap satu kelas dengan teman-teman yang sudah lama mereka kenal. Begitu juga dengan aku dan Delia yang sangat berharap kami tidak di pisahkan di kelas yang berbeda.
“Kelas sepuluh dua : Ria Fitriani, Andjani Putri Aulia, Adi Pranata Putra, Delia Saputri, Syafira Ananda…blablabala”. Mendengar suara itu Delia langsung memelukku dengan girang. Begitu juga dengan aku yang membalas pelukannya. Kami sangat senang karena kami di pertemukan lagi dalam satu kelas seperti dua tahun lalu.
Selesai pengumuman pembagian kelas semua murid langsung bergegas keluar dan mencari kelas mereka untuk segera mendapatkan posisi tempat duduk yang di inginkan. Aku dan Delia berlari ke kelas sepuluh dua, untung saja hanya beberapa bangku yang baru di tempati siswa lain. Aku dan Delia langsung memilih posisi yang kami inginkan. Barisan ketiga dari pintu masuk, urutan ketiga dari depan. Bagi kami ini tempat yang pas karena tidak terlalu jauh dari papan tulis dan juga tidak terlalu dekat.
Kami langsung duduk dan memulai bercerita seperti biasanya. Satu persatu para siswa memasuki kelas ini, lama kelamaan kelas mulai ramai di penuhi siswa yang nantinya akan jadi keluarga kami dikelas. Dalam keramaian kelas ini mataku sperti sedang tertuju pada pria yang sedang berdiri di depan pintu seolah kebingungan melihat seperti tidak ada lagi bangku kosong untuknya. Ia berjalan dan menuju ke arahku. Aku benar-benar gemetar, aku bingung kenapa dia ke arahku, “huh akhirnya masih ada yang kosong” bisiknya kecil.
Ternyata di bukan menuju ke arahku, dia menuju ke arah kursi yang masih kosong di barisan sebelahku. Aku malu wajahku benar-benar terlihat merah. Aku berharap ia menyapaku, tapi pria ini terlihat seperti pendiam. Aku benar-benar tidak menyangka dia sekelas denganku bahkan sekarang duduk disebelahku.
“hey kamu duduk sendirian?”
(Lidahku keluh mendengar pertanyaan itu, suara itu. Pria yang ku kagumi menyapaku?benarkah? rasanya seperti tidak percaya)
“ehh..enggak kok aku duduk sama temenku namanya Delia, tapi tadi dia lagi ke toilet. Kamu sama siapa?”
“gatau nih ini ada tasnya tapi gatau yang mana orangnya. Oh iya kamu yang di mushola tadi kan?nama kamu siapa?
(Ternyata dia memperhatikanku juga di moshola tadi. Di menanyakan namaku sekarang. Dia ingin tau namaku. Aku senang benar-benar masih kaku berada di dekatnya).
“iya kita tadi ketemu di mushola…Nih namaku (menunjuk ke arah nama yang tertera di baju seragam) Syafira Ananda namaku”.
“ohh salam kenal ya Fir namaku Adi Pranata, panggil Adi aja atau Didi”.
“iyaa okee Didi aja kali ya biar akrab”
(ia hanya membalasnya dengan senyum)
Hari-hari sekolah sudah mulai normal, belajar seperti biasa, pekerjaan rumah pun tak henti menghampiri. Tiba pelajaran Bahasa Indonesia yang kebetulan gurunya adalah wali kelas di kelas sepuluh dua yang juga merupakan kelasku dan Delia. Ibu Rumi menyuruh kami berpindah pasangan duduk. Ia menyuruh kami duduk berpasangan yakni pria duduk bersama wanita agar lebih terlihat kekeluargaan katanya.
Delia pindah di depan lalu Adi pindah ke tempat duduk Delia. Fikiranku melayang tak tentu arah. Aku tidak pernah berharap sejauh ini. Aku duduk di sebelah Didi dan kami pastinya akan lebih dekat lebih sering bercerita banyak hal. Aku lebih dari bahagia detik itu. Delia hanya tersenyum seperti sedang mengejekku ketika nama Didi di panggil oleh Bu Rumi. Delia adalah satu-satunya orang yang tau perasaan kagumku pada Didi. Aku makin malu melihat senyum ejekan Delia.
Delia tidak kedapatan duduk dengan pria karena memang pria di kelas kami jumlahnya lebih sedikit dari wanitanya.Delia tetap dekat denganku karena ia duduk di depan Didi atau yang lebih di kenal dengan adi. Dan yang duduk bersama Delia adalah Rani. Dia juga salah satu teman smp kami,namun kami tidak terlalu mengenalnya.
Hari-hari terus berlalu…Sepertinya perasaan kagum pada Didi telah berubah jadi perasaan suka dan cinta. Aku menyukai caranya bicara, senyumnya,kesopanannya dan ibadahnya yang terlihat tidak pernah putus. Tapi aku belum berani menceritakan ini pada siapapun apalagi pada Delia, karena aku takut perasaan ini salah atau akan bertepuk sebelah tangan.
Siang itu aku baru saja selesai shalat Ashar dan langsung menuju kelas. Kulihat Delia,Rani dan DIdi sedang asik ngobrol. Bahkan kedatanganku pun tidak mereka peulikan. Aku langsung duduk dan sesekali mendengar pembicaraan mereka. Tiba-tiba mataku tertuju pada Rani. Rani menatap Didi begitu dalam. Ada yang berbeda dengan tatapan itu, caranya bicara pada Didi juga berbeda. Perasaanku hancur. Aku merasa Rani juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Rani juga pasti menginginkan Didi. Aku kaku aku tidak tau apa yang harus kulakukan kala itu.
Keesokan harinya Aku Delia dan Rani pergi suatu mall yang cukup beken di kota kami. Kami hanya ingin melepaskan penat selama beberapa bulan merasakan pelajaran SMA yang ternyata tidak se asik yang di bayangkan. Rani mulai membuka cerita tentang masa-masa selama kami baru menuduki bangku SMA. Bercerita tentang MOS kemarin, dan tentang Didi. Yaaa….Aku sudah tau ini juga akan jadi bahan ceritanya sore itu. Rani sepertinya benar-benar menyuikai Didi. Ia pun meminta kami untuk membantunya agar bisa lebih dekat engan Didi. Lalu apa yang harus kulakukan? Benarkah aku harus membantunya sedangkan aku sendiri juga menyukai Didi. Akankah aku bisa bertahan dengan kedekatan mereka?
Tidak ada pilihan lain. Aku harus membantu temanku. Aku tiak bisa mementingkan keegoisanku sendiri. Aku tidak bisa menghalangi kebahagiaan temanku sendiri. Beberapa bulan kemudia akhirnya Didi an Rani berpacaran. Mereka sangat terlihat bahagia. Aku juga senang dengan hubungan mereka, meski ada yang luka di dalam jiwaku, dihatiku.
Tapi aku juga tidak mungkin menangis diatas kebahagiaan mereka. Aku mencoba terus tersenyum, melupakan semua rasa sakit, semua kekecewaan, kebencian dan amarah. Tidak ada yang tau aku sangat rapuh saat itu. Aku benci keadaan seperti ini. Keadaan dimana aku terpaksa harus berpura-pura menyembunyikan semuanya. Semua yang seharusnya bisa tidak aku sembunyikan. Ini mungkin pelajaran berharga tapi aku tetap saja keberatan dengan ini.
Aku berharap agar hubungan mereka tidak lama. Terdengar jahat memang, tapi entahlah. Tidak ada yang bisa ku fikirkan saat itu. Aku kosong, hancur berkeping-keping. Harapanku hilang kosong. Aku terluka karena teman dekatku, karena seseorang yang sudah ku anggap sahabat.
Mungkin ini pengalaman berharga. Pertama kali aku jatuh cinta, dan pertama kali pula aku di kecewakan. Aku mungkin tidak seharusnya menginginkan akhir hubungan mereka, karena berakhirnya mereka belum tentu juga jadi awal yang baik untukku. Mengikhlaskan saja mungkin itu lebih baik, lebih dewasa. Semoga saja Rani bisa mencintai Didi lebih besar dari perasaan cintaku pada Didi. Semoga mereka tidak pernah merasakan sakitnya jadi aku. Aku ikhlas J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar